Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata "penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau" dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata "kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau" serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata "atau huruf e" Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam putusan perkara yang dimohonkan oleh dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., SH. dkk. tersebut, MK berpendapat bahwa ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun, yang ditentukan dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, serta ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun, yang diatur dalam Pasal 79 huruf a UU Praktik Kedokteran telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan. Menurut MK, hal tersebut sebagai akibat tidak proporsionalnya antara pelanggaran yang dilakukan dengan ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, ancaman pemidanaan berupa pidana penjara dan pidana kurungan yang terdapat dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran selain tidak sesuai dengan filsafat hukum pidana, tidak sejalan pula dengan maksud Pasal 28G Ayat (1) UUD1945.
Selain itu, MK juga berpendapat perbuatan "tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi" bukan merupakan tindak pidana. Sehingga Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan adalah hak.
Sementara itu, dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., tersebut, permohonan para Pemohon terkait dengan pembatasan tiga tempat praktik yang diatur dalam Pasal 37 Ayat (2) UU Praktik Kedokteran tidak dikabulkan oleh MK atau ditolak. MK berpendapat pembatasan tiga tempat praktik akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kesehatan dokter secara fisik dan psikis sehingga dalam memberikan analisa dan diagnosa kepada pasien dapat dilakukan secara tepat karena dilakukan secara berhati-hati, cermat, dan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan standar profesi. *Dentamedia No 3 Vol 11 Jul-Sep 2007. Naskah : Ardli. Foto: Ardli
Dalam putusan perkara yang dimohonkan oleh dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., SH. dkk. tersebut, MK berpendapat bahwa ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun, yang ditentukan dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, serta ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun, yang diatur dalam Pasal 79 huruf a UU Praktik Kedokteran telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan. Menurut MK, hal tersebut sebagai akibat tidak proporsionalnya antara pelanggaran yang dilakukan dengan ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, ancaman pemidanaan berupa pidana penjara dan pidana kurungan yang terdapat dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran selain tidak sesuai dengan filsafat hukum pidana, tidak sejalan pula dengan maksud Pasal 28G Ayat (1) UUD1945.
Selain itu, MK juga berpendapat perbuatan "tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi" bukan merupakan tindak pidana. Sehingga Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan adalah hak.
Sementara itu, dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., tersebut, permohonan para Pemohon terkait dengan pembatasan tiga tempat praktik yang diatur dalam Pasal 37 Ayat (2) UU Praktik Kedokteran tidak dikabulkan oleh MK atau ditolak. MK berpendapat pembatasan tiga tempat praktik akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kesehatan dokter secara fisik dan psikis sehingga dalam memberikan analisa dan diagnosa kepada pasien dapat dilakukan secara tepat karena dilakukan secara berhati-hati, cermat, dan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan standar profesi. *Dentamedia No 3 Vol 11 Jul-Sep 2007. Naskah : Ardli. Foto: Ardli
Posting Komentar untuk "PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UJI MATERIL TERHADAP UNDANG-UNDANG PRAKTIK KEDOKTERAN"