“Men
heffe het toekang gigi kwadd of door althans geschoolde trekkers in hun plaats
te stellen die lets van tandheelkunde afweten”. Tulisan di atas yang dikutip
dari Majalah Tandheelkundig Corres-pondentieblad Voor Nederlans-Indie oleh R.A.
Tomasowa, kurang lebih berarti "masalah tukang gigi dapat diselesaikan
dengan mendidik tenaga cabut gigi yang dibekali sekedarnya dengan pengetahuan
tentang kedokteran gigi".
Ternyata
sejak Zaman Belanda, tukang gigi telah membuat pusing pemerintah, dan pendirian
STOVIT di Surabaya pada tahun 1928 adalah dalam rangka mengatasi permasalah
tukang gigi yang meresahkan. Namun STOVIT ternyata tidak dapat menyelesaikan
masalah, bahkan hingga saat ini ketika jumlah institusi pendidikan kedokteran
gigi telah menjadi 27 buah, permasalahan tukang gigi tetap tidak terselesaikan.
Ironisnya, akar permasalahan menjamurnya tukang gigi pada Zaman Belanda dan pada saat ini adalah sama yaitu sulitnya masyarakat mengakses jasa dokter gigi.
Ironisnya, akar permasalahan menjamurnya tukang gigi pada Zaman Belanda dan pada saat ini adalah sama yaitu sulitnya masyarakat mengakses jasa dokter gigi.
Penyebabnya
ada tiga, yaitu tidak meratanya penyebaran dokter gigi sampai ke pelosok, tidak
terjangkaunya biaya pelayanan kesehatan gigi, serta kurangnya pemahaman
masyarakat tentang profesi dokter gigi. Menurut data yang dilangsir Konsil
Kedokteran Gigi Indonesia (KKI) pada tahun 2010, 63% dokter gigi berada di
Pulau Jawa, sisanya 37% tersebar di wilayah lain Indonesia. Masalah kedua yaitu
tingginya biaya pelayanan kesehatan gigi, sehingga walaupun di suatu daerah
terdapat dokter gigi, masyarakat mencari pengobatan alternatif yang lebih
terjangkau biayanya. Hal ini diperparah oleh kenyataan banyaknya perusahaan
asuransi yang tidak memberikan pengantian biaya pada beberapa tindakan yang
dilakukan dokter gigi. Permasalahan ketiga yaitu kurangnya pemahaman masyarakat
tentang profesi dokter gigi, bahkan dikalangan masyarakat berpendidikan.
Akibatnya banyak anggota masyarakat yang berobat ke tukang gigi karena mereka
tidak tahu pelayanan yang diberikan oleh tukang gigi dapat dilakukan oleh
dokter gigi.
Peningkatan
jumlah tukang gigi sejak awal tahun 2000-an disebabkan oleh meningkatnya
permintaan masyarakat akan perawatan ortodontik dengan menggunakan alat cekat;
demikian hasil wawancara Dentamedia dengan beberapa orang tukang gigi.
Peningkatan permintaan ini bukan hanya di kota-kota besar tetapi sampai ke
pelosok-pelosok pedesaan, sebagai buah dari era keterbukaan informasi. Di sisi
lain, para dokter gigi spesialis ortodontis hanya terdapat di kota-kota besar,
sementara para dokter gigi umum walaupun menurut Standar Pelayanan Medis
Kedokteran Gigi Indonesia diperbolehkan menggunakan alat ortodontik cekat untuk
kasus kelas satu, jarang yang melakukan karena tidak adanya lagi akses ke
pendidikan berkelanjutan mengenai kompetensi ini.
Jadi
kemudian keefektifan Permenkes Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 mengenai
pencabutan Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi
menjadi diragukan, banyak persoalan yang harus diberekan oleh para pemangku
kepentingan agar aturan ini dapat ditegakan. Kemkes perlu memastikan Permenkes
ini sampai, dimengerti, dan ditaati oleh 497 Kota/Kabupaten di seluruh
Indonesia; perlu juga edaran resmi tentang bagaimana cara menertibkan tukang
gigi tidak berizin. Organisasi profesi bersama pemerintah perlu mencari jalan
keluar agar layanan dokter gigi termasuk spesialis dapat tersedia dan
terjangkau masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Terakhir, karena jumlah
tukang gigi telah terlanjur banyak perlu dipikirkan upaya alih profesi, agar
tidak menjadi masalah dan gejolak sosial baru. *Dentamedia No 1 Vol 16 Jan-Mar 2012. Naskah: Kosterman Usri. Foto: H.R. Ginandjar A.R.
Posting Komentar untuk "TAMATKAH RIWAYAT TUKANG GIGI?"