Sementara tukang gigi lain menempuh jalan berdemo serta
melobi berbagai pihak terkait, H. Hamdani Prayogo sebagai tukang gigi yang
merasa dirugikan oleh pelarangan pemerintah menempuh jalan lain, ia mengajukan
uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam perjuangannya Hamdani
tidak main-main, diwakili oleh enam orang pengacara, ia mengajukan empat orang
tukang gigi sebagai saksi pemohon, serta seorang profesor dan seorang doktor
sebagai saksi ahli. 15 Januari 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh
permohonan Hamdani, dengan suara bulat tanpa ada hakim yang menyatakan
berpendapat berbeda (disetting opinion).
Mahkamah Konstitusi berpendapat Pasal 73 ayat (2) UU 29/2004
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu bertentangan dengan
konstitusi jika larangan dalam pasal tersebut diberlakukan terhadap tukang gigi
yang telah memiliki ijin dari Pemerintah,” ujar Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva
dalam sidang pembacaan putusan Perkara No. 40/PUU-X/2012, Selasa (15/1) pagi,
di Ruang Sidang Pleno MK.
Mahkamah berpandangan, pada prinsipnya Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. “Dengan demikian,
berarti negara melindungi hak atas pekerjaan setiap warga negaranya dalam
rangka mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusian,” ungkap Hamdan.
Perlindungan negara atas suatu pekerjaan dan memperoleh penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan tersebut merupakan implementasi dari hak asasi setiap
orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, perlindungan negara atas suatu pekerjaan
dan hak untuk mendapatkan imbalan tidak diterapkan secara diskriminatif dalam
artian memberikan perlakuan yang istimewa terhadap pekerjaan tertentu saja dan
mengabaikan atau menghapuskan jenis pekerjaan yang lain tanpa memberikan solusi
atau penyelesaian yang jelas dari negara.
Hamdan memaparkan, penyimpangan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh
tukang gigi ataupun juga karena terbatasnya kemampuan yang dimiliki oleh tukang
gigi dalam menjalankan pekerjaannya dapat diselesaikan melalui pembinaan,
perizinan, dan pengawasan. Pembinaan dimaksudkan agar tukang gigi mempunyai
pengetahuan dasar ilmu kedokteran gigi sehingga dapat menjalankan pekerjaan
sesuai ketentuan yang berlaku. “Sebagaimana yang dilakukan Pemerintah terhadap
dukun beranak yang membantu kelahiran,” ujarnya. Pengawasan, sambung Hamdan,
dimaksudkan untuk mengontrol pekerjaan tukang gigi agar menjalankan pekerjaan
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah dan memberikan sanksi
kepada tukang gigi yang melanggar atau menyalahgunakan pekerjaannya. Sedangkan
perizinan, dimaksudkan sebagai legalisasi tukang gigi untuk menjalankan
pekerjaan sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki tukang gigi.
“Seharusnya
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan antara
dokter gigi dan tukang gigi saling bersinergi dan mendukung satu sama lain
dalam upaya meningkatkan kesehatan khususnya kesehatan gigi masyarakat,”
tuturnya. Konsekuensinya, hal itu juga berlaku pada Pasal 78 dalam UU Praktik
Kedokteran yang mengatur pemidanaan atas pelanggaran terhadap Pasal 73 ayat (2)
tersebut. “Konstitusional sepanjang norma dalam Pasal 78 UU 29/2004 tidak
termasuk tukang gigi yang mendapat ijin dari Pemerintah,” tegas Hamdan.
Sebelumnya, Pemerintah menyatakan penghapusan pekerjaan tukang gigi
dilandasi alasan karena pekerjaan tersebut berisiko, sehingga hanya dapat
dilakukan oleh tenaga yang berkompetan. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan merupakan
penyelesaian yang tepat, karena selain keberadaan pekerjaan tukang gigi telah
lebih dahulu ada sebelum adanya kedokteran gigi di Indonesia, keberadaan tukang
gigi dapat menjadi alternatif lain bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan gigi yang terjangkau.
Akhirnya, dalam amar putusan atas perkara yang diajukan oleh Tukang Gigi
Hamdani Prayogo ini, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD menegaskan bahwa
Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
tidak dimaknai, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang
gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah”.
Selanjutnya, Pasal 78 UU Praktik Kedokteran juga dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat
tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang
mendapat izin praktik dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) adalah tukang
gigi “.
Lalu persoalanpun kembali ke titik semula, setelah tukang gigi tidak
jadi dilarang bolehkan mereka "memasang behel" seperti banyak dimuat
gambarnya di laman sosial milik H. Hamdani Prayogo? Ini menjadi tugas berat
pemerintah untuk mengaturnya karena dengan dasar keputusan Mahkamah Konstitusi
bukan mustahil regulasi pembatasan pekerjaan tukang gigi akan kembali dibawa ke
jalur hukum. *Dentamedia
No 1 Volume 17 Jan-Mar 2013. Naskah: Kosterman Usri. Foto:
Jakarta by Train. Sumber: Mahkamah Konstitusi
Posting Komentar untuk "TUKANG GIGI MENANG"