Sore itu, pelataran parkir rumah nomor 27 di Jalan Yap Tjwan
Bing, Purwodiningratan, Jagalan, Solo, sedikit lengang . Hanya ada dua mobil,
tiga becak, dan beberapa sepeda motor yang rapi “berbaris”. Pada dinding di
ruang depan rumah itu, tampak papan yang berisi tulisan jadwal praktik
dokter si pemilik rumah.
Ya, si pemilik rumah ini adalah seorang dokter. Namanya dokter Lo. Dalam ruang depan tersebut tersedia pula tiga bangku panjang, tempat sejumlah orang duduk menunggu. Dokter baik hati ini sudah lama buka praktik di situ. Dia dikenal banyak orang, karena kebaikannya. Buka praktik berpuluh tahun, nama dokter yang satu ini ramai dibicarakan media sosial, warga sekitar, juga para pasien yang mengular, mengenalnya sebagai dokter yang senantiasa tulus menolong. Di rumahnya itu, dia membuka praktek tanpa memasang tarif sepeser pun kepada pasien. Lo Siauw Ging itu, begitu nama lengkapnya, selalu kebanjiran pasien.”Prinsip saya memang untuk menolong, kalau yang punya mau bayar ya silakan, kalau nggak ya nggak apa-apa, karena saya tidak pasang tarif,” ujar pria kelahiran Magelang ini. Dokter model seperti ini ternyata masih ada di Indonesia.
Ya, si pemilik rumah ini adalah seorang dokter. Namanya dokter Lo. Dalam ruang depan tersebut tersedia pula tiga bangku panjang, tempat sejumlah orang duduk menunggu. Dokter baik hati ini sudah lama buka praktik di situ. Dia dikenal banyak orang, karena kebaikannya. Buka praktik berpuluh tahun, nama dokter yang satu ini ramai dibicarakan media sosial, warga sekitar, juga para pasien yang mengular, mengenalnya sebagai dokter yang senantiasa tulus menolong. Di rumahnya itu, dia membuka praktek tanpa memasang tarif sepeser pun kepada pasien. Lo Siauw Ging itu, begitu nama lengkapnya, selalu kebanjiran pasien.”Prinsip saya memang untuk menolong, kalau yang punya mau bayar ya silakan, kalau nggak ya nggak apa-apa, karena saya tidak pasang tarif,” ujar pria kelahiran Magelang ini. Dokter model seperti ini ternyata masih ada di Indonesia.
Di medan ada dr Aznan Lelo yang namanya tak asing di dunia
kedokteran gigi, Berpraktek di sebuah bangunan tua di kawasan Jl. Puri Medan,
Kelurahan Komat, Kecamatan Medan Area, Medan Sumatera Utara, dr Aznan kerap
didatangi pasien yang mengendarai becak, sepeda motor, hingga mobil. Mereka
adalah pasien seorang dokter yang akrab disapa Buya. Di kediamannya itu, Buya
membuka praktik tanpa memasang tarif. Pasien membayar jasa konsultasi dan resep
obat racikannya sesuka hati. Resepnya untuk obat apotek pun terjangkau. Cukup
fenomenal, kontras dengan umumnya dokter, apalagi di kota-kota besar. Biasanya
praktik buka pukul 17.00 WIB. Ada pasien yang datang dan mendaftar sejak siang
kemudian pergi, banyak pula yang datang langsung mendaftar dan menunggu
giliran. Ruang tunggu yang juga bagian dari garasi itu kadang dipenuhi pasien,
sesuai giliran mereka masuk ke ruang praktik berukuran minimalis. Di meja
registrasi di ujung garasi itu disediakan amplop-amplop putih bergaris putih
biru-merah. Pasien yang sudah sering datang tahu cara membayar dr. Aznan dengan
tarif seiklas hati itu. Amplop yang sudah diisi ataupun tidak diisi oleh pasien
kemudian dibawa masuk ke ruang praktik saat diperiksa, dan seusai pemeriksaan
ditinggal di meja dr. Aznan. Bagi yang belum tahu dan menanyakan biaya, dr.
Aznan tak akan pernah mau menjawab.
Ada lagi dokter yang dijuluki “dokter seribu” dari Papua. Dokter
tersebut ialah, F. X. Soedanto. Dokter lulusan UGM tahun 1975 ini sudah
bertugas di Papua, tepatnya di kecamatan Abepura sekitar 30 menit perjalanan
jika ditempuh dari Jayapura selama 32 tahun. Dia melayani pasiennya yang
datang kepadanya, dan mengenakan tarif dengan hanya Rp. 1000
untuk warga asli Papua dan Rp. 2000 untuk warga selain warga asli Papua.
Selain itu, dia juga menerima pasien yang hanya memberikan ucapan terima kasih
sebagai balasannya. Karena kebaikannya dan ketulusan hatinya dia dijuluki
sebagai Dokter Seribu. Bahkan dia rela dan ikhlas tidak dibayar, jika ada
pasien yang tidak mampu.
Dari kalangan muda ada dr. Gamal Albinsaid sang dokter sampah.
isahnya dimulai ketika ada seorang pemulung bernama Triyono, putrinya
berusia 3 tahun sakit diare. Karena pekerjaan bapaknya pemulung sehingga
penghasilannya hanya sekitar Rp 10.000 sehari, anaknya tidak bisa berobat
hingga akhirnya meninggal dunia. Kejadian tersebut mengagas dr. Gamal Albinsaid
untuk membuat sistem kesehatan yang dibiayai dari sampah daur ulang. Gamal
memandang, setiap rumah tangga hampir pasti menghasilkan sampah setiap harinya.
Sehingga, tidak sulit membayar biaya dan pengobatan bila bisa dibayar dengan
sampah daur ulang. Saat ini telah ada lima klinik yang menerima pembayaran
dengan sistem asuransi sampah daur ulang. Dengan sampah ini, kami memberikan pelayanan
kesehatan berupa pemeriksaan dokter, gula darah sampai obat, tambah dokter
berusia 24 tahun ini.
Di kalangan dokter gigi pun banyak yang budiman, salah satunya
drg Anto Bagus. Prihatin akan nasib penderita celah langit-langit yang sebagian
besar dari kalangan kurang mampu, membuat drg. Anto bagus, rela menyusuri
pelosok desa untuk membantu mereka dengan membuatkan obturator gratis. Warga
Japan Asri Mojoketo ini membuat sebuat alat yang dia sebut adjustable
obturator, berbeda dengan obturator biasa, dengan modifikasinya, alat ini dapat
disetel mengikuti perkembangan ukuran rahang pasien. Drg Bagus tidak mengenakan
biaya sama sekali bagi penderita celah langit-langit, bahkan ia seringkali
menghabiskan waktunya untuk mencari para penderita bibir celah langit-langit
hingga pelosok desa, karena menurutnya seringkali penderita menarik diri dari
masyarakat. Karena aktifitas sosialnya tersebut, tahun 2011, drg. Anto Bagus,
Sp.Pros. yang sehari-hari bekerja di Pukesmas Jatirejo Kabupaten Mojokerto ini
mendapat anugerah Sang Teladan dari Decolgent.
Dokter gigi lainnya adalah drg Ahmad Sujanto. Dari penghasilannya
sendiri, tanpa pernah menerima bantuan dari donatur mana pun, sejak 2003, drg.
Ahmad mendirikan sekolah menengah pertama (SMP) gratis untuk anak-anak miskin
di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Ia mengatakan, pada tahun pertama sampai tahun
ketiga didirikan, SMP-nya tidak hanya menggratiskan uang sekolah, tetapi juga
menyediakan kedaraan bis antar jemput. Ayah dari tiga anak ini mengawali kiprah
di bidang pendidikan setelah pindah tugas ke Banyumas pada 1993. Sesampainya di
Banyumas, ia melihat banyak anak miskin yang tidak bersekolah, ia memutuskan
menjadi orang tua asuh untuk 25 anak miskin, sampai lulus SD. Namun, setelah
para anak asuhnya lulus SD, ia mengaku merasa gelisah karena para lulusan SD
tersebut tidak dapat melanjutkan sekolah mereka, itulah yang menjadi latar
belakang drg. Ahmad mendirikan SMP. Atas pengabdiannya, drg Ahmad Sujanto pada
tahun 2014 memperoleh "Anugerah Peduli Pendidikan" dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.*Dentamedia No 1 Vol 19 Jan-Mar 2015. Naskah: Kosterman Usri, Foto: Kang Herlas Center, Sumber : Viva News, Solografi, Deli News Indonesia, Liputan6, Merdeka, Detik, Kompas, Majamojokerto, Sinar Harapan
Posting Komentar untuk "KISAH PARA DOKTER BUDIMAN"