Kode Etik Kedokteran
Gigi Indonesia (KODEKGI) dipandang perlu direvisi karena kurang memadai
untuk menjawab zaman, terutama perkembangan media sosial yang sangat
rawan melanggar prinsip-prinsip etik kedokteran gigi. Demikian komentar yang muncul terkait acara webinar “Sosialisasi Kodekgi
2020 : Ketika Ruang Media Sosial Dibatasi Etika. Dapatkah Dokter Gigi menjadi
Selebgram? Do’s & Don’t’s di
Media Sosial” yang diselenggarakan oleh PB PDGI bekerja sama dengan
PDGI Jakarta Pusat pada hari Minggu, 27 Desember 2020
melalui platform Zoom dan Youtube.
Isi kode etik yang dipandang perlu direvisi adalah masih adanya ketentuan tentang praktik bersama, padahal menurut regulasi Kementerian Kesehatan bentuk praktik seperti ini tidak dikenal lagi. Juga ketentuan seperti pemuatan di yellow pages dan direktori dipandang tidak perlu ada lagi, tetapi sekarang justru harus diatur tentang etik pengunaan media sosial serta hal terkait penggunaan media berbasis teknologi infomasi lainnya.
Isi kode etik yang dipandang perlu direvisi adalah masih adanya ketentuan tentang praktik bersama, padahal menurut regulasi Kementerian Kesehatan bentuk praktik seperti ini tidak dikenal lagi. Juga ketentuan seperti pemuatan di yellow pages dan direktori dipandang tidak perlu ada lagi, tetapi sekarang justru harus diatur tentang etik pengunaan media sosial serta hal terkait penggunaan media berbasis teknologi infomasi lainnya.
Cepatnya laju perkembangan
teknologi dan teknologi informasi membuat budaya terus bergerak dan mau tak mau
profesi pun ikut terkena imbasnya. Kemudahan membagikan informasi melalu
platform media sosial, seperti Instagram dan Youtube, membuat munculnya selebgram
atau Youtuber dari berbagai kalangan, termasuk dokter gigi. Lantas bagaimana
kode etik dokter gigi memandang kehadiran influencer
dari kalangan dokter gigi?
Ketua PB PDGI Dr. drg. RM Sri Hananto Seno, Sp.BM(K), MM. dalam paparannya menyingung marwah profesi mulia dokter gigi di tengah perubahan budaya dan teknologi informasi. Beliau menyampaikan bahwa di era keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, sangat memengaruhi dokter gigi dalam menerapkan kompetensinya untuk merawa pasien. Hal ini bisa jadi pengaruh positif maupun negatif bagi dokter gigi itu sendiri. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya dokter gigi benar-benar memahami dan menerapkan kode etik dokter gigi. Berbagai dampak negatif yang mungkin muncul sebenarnya sudah dicoba untuk diantisipasi oleh PB PDGI dengan melakukan upaya pengendalian. Upaya yang sudah dilakukan antara lain revisi buku etika dan BPPA, penyampaian materi etika melalui mahasiswa dan P3KGB, dan lain-lain.
Selanjutnya Ketua MKEKG Prof. drg. Mei Syafriadi, MDSc., PhD., Sp.PM. memaparkan perbedaan KODEKGI 2008 dengan KODEKGI 2020. Beliau menyampaikan pada dasarnya kode etik kedokteran gigi di Indonesia banyak mengacu kepada pedoman Principles of Ethics & Code of Professional Conduct milik American Dental Association. Kodekgi 2020 tidak banyak berubah dari Kodekgi 2008. Hanya saja disederhanakan dan cakupan pasal-pasal terkait diberikan penjelasan dan mempertahankan nilai-nilai yang dianggap fundamental.
Dalam webinar ini juga dibahas mengenai aspek hukum, sanksi etik, dan hak memdapatkan pembelaan untuk dokter gigi oleh drg. Suryono, S.H., MM., PhD. Beliau juga menjelaskan bagaimana alur kerja MKEKG dan BPPA dalam penegakan kode etik kedokteran gigi ini. drg. Rio Suryantoro, Sp.KG. seorang praktisi media sosial yang juga menjadi pembicara dalam webinar, membagikan pengalamannya berbagai kasus yang ia tangani melalui berbagai platform yang mengikuti perkembangan jaman. Beliau menjelaskan bahwa sejak tahun 2011 ia berpraktek, beliau selalu meminta informed consent tertulis dari pasien bahwa ia akan mendokumentasikan pekerjaan pada mulut pasiennya. Dokumentasi tersebut akan dikirim ke pasien tersebut dan mungkin digunakan untuk kepentingan edukasi dengan tidak menyebutkan identitas pasien. Bentuk unggahan di media sosial pun harus diolah dengan bijak dan dilengkapi dengan caption yang informatif tanpa melanggar kode etik dan mengikuti International Guidance karena sifat media sosial yang bisa diakses dari negara mana saja. [Berita : Nadia Faradiba, Foto : PDGI Jakarta Pusat]
Ketua PB PDGI Dr. drg. RM Sri Hananto Seno, Sp.BM(K), MM. dalam paparannya menyingung marwah profesi mulia dokter gigi di tengah perubahan budaya dan teknologi informasi. Beliau menyampaikan bahwa di era keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, sangat memengaruhi dokter gigi dalam menerapkan kompetensinya untuk merawa pasien. Hal ini bisa jadi pengaruh positif maupun negatif bagi dokter gigi itu sendiri. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya dokter gigi benar-benar memahami dan menerapkan kode etik dokter gigi. Berbagai dampak negatif yang mungkin muncul sebenarnya sudah dicoba untuk diantisipasi oleh PB PDGI dengan melakukan upaya pengendalian. Upaya yang sudah dilakukan antara lain revisi buku etika dan BPPA, penyampaian materi etika melalui mahasiswa dan P3KGB, dan lain-lain.
Selanjutnya Ketua MKEKG Prof. drg. Mei Syafriadi, MDSc., PhD., Sp.PM. memaparkan perbedaan KODEKGI 2008 dengan KODEKGI 2020. Beliau menyampaikan pada dasarnya kode etik kedokteran gigi di Indonesia banyak mengacu kepada pedoman Principles of Ethics & Code of Professional Conduct milik American Dental Association. Kodekgi 2020 tidak banyak berubah dari Kodekgi 2008. Hanya saja disederhanakan dan cakupan pasal-pasal terkait diberikan penjelasan dan mempertahankan nilai-nilai yang dianggap fundamental.
Dalam webinar ini juga dibahas mengenai aspek hukum, sanksi etik, dan hak memdapatkan pembelaan untuk dokter gigi oleh drg. Suryono, S.H., MM., PhD. Beliau juga menjelaskan bagaimana alur kerja MKEKG dan BPPA dalam penegakan kode etik kedokteran gigi ini. drg. Rio Suryantoro, Sp.KG. seorang praktisi media sosial yang juga menjadi pembicara dalam webinar, membagikan pengalamannya berbagai kasus yang ia tangani melalui berbagai platform yang mengikuti perkembangan jaman. Beliau menjelaskan bahwa sejak tahun 2011 ia berpraktek, beliau selalu meminta informed consent tertulis dari pasien bahwa ia akan mendokumentasikan pekerjaan pada mulut pasiennya. Dokumentasi tersebut akan dikirim ke pasien tersebut dan mungkin digunakan untuk kepentingan edukasi dengan tidak menyebutkan identitas pasien. Bentuk unggahan di media sosial pun harus diolah dengan bijak dan dilengkapi dengan caption yang informatif tanpa melanggar kode etik dan mengikuti International Guidance karena sifat media sosial yang bisa diakses dari negara mana saja. [Berita : Nadia Faradiba, Foto : PDGI Jakarta Pusat]
Posting Komentar untuk "KODE ETIK PERLU DIREVISI"