Mampukah Dokter Gigi Bertahan di Era Media Sosial

Oleh : Christhania Cornelius – Dokter Gigi Partikelir di Jakarta.

Sangat menarik ketika melihat perkembangan media sosial yang kini banyak di jumpai konten-konten edukasi. Tidak hanya digunakan untuk mencari hiburan, saat ini media sosial juga dimanfaatkan masyarakat untuk mendapat informasi. Informasi didapatkan dengan mudah, cepat, dan tidak memerlukan biaya yang besar. Penggunaan media sosial juga terus meningkat, terutama sejak terjadinya pandemi Covid-19. Bahkan penggunaan media sosial, seperti Whatsapp dan Instagram meningkat hingga 40%.

Bagaimana dengan dokter gigi, apakah sudah mengikuti perkembangan ini? Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada 444 responden yang berprofesi sebagai dokter gigi di Indonesia, didapatkan hasil bahwa 100% responden memiliki media sosial. Sebanyak 14,6% dari seluruh responden sudah menggunakan media sosial sebagai sarana edukasi kesehatan gigi dan mulut. Nyatanya media sosial sudah tidak asing bagi para dokter gigi, namun pemanfaatan media sosial sebagai sarana edukasi kesehatan gigi dan mulut masih tergolong rendah.

Perkembangan zaman tidak hanya menuntut dokter gigi untuk menguasai ilmu secara akademis serta memiliki keterampilan tangan yang baik, tetapi juga menuntut kemampuan edukasi dengan cara yang menarik. Dokter gigi dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana edukasi preventif dan promotif. Semakin menarik kemasan edukasi, diharapkan menarik minat baca masyarakat sehingga informasi yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik.

Penggunaan Instagram, yaitu salah satu media sosial, terbukti dapat mengedukasi pasien agar peduli terhadap kesehatan gigi dan mulut, serta mengedukasi kebiasaan buruk yang dapat mempergaruhi kesehatan gigi dan mulut. Melalui berbagai fitur di media sosial, masyarakat dan dokter dapat melakukan diskusi tanya jawab dengan mudah, walaupun tentu diskusi tersebut tidak dapat menggantikan komunikasi dengan dokter secara langsung.

Dibalik segala kemudahan dan manfaat media sosial, ternyata terdapat tanggung jawab yang besar. Berkaca dari kasus seorang dokter kecantikan yang awal mulanya mengedukasi mengenai krim wajah, tetapi tidak disangka berbuntut panjang hingga melibatkan hukum negeri ini. Terlepas dari pro dan kontra kacamata hukum, kasus ini menyadarkan setiap dokter dan dokter gigi bahwa kebebasan bermedia sosial disertai dengan tanggung jawab yang besar. Memang kita tidak dapat menyenangkan semua pihak, oleh karena itu apapun yang terjadi, tetap utamakan kesehatan pasien dan memperhatikan kepentingan masyarakat.

Lalu sejauh apa edukasi melalui media sosial dapat dilakukan? Sebelumnya terdapat kasus dokter umum yang dinilai melakukan pelecahan atas kontennya mengenai pemeriksaan pembukaan persalinan. Tidak ada yang salahketika seorang dokter ingin mengemas edukasi bersamaan dengan hiburan. Namun, etika di dunia nyata tidak boleh dilupakan ketika menyelami dunia digital, khususnya media sosial. Seorang dokter disumpah untuk menghormati kerahasiaan pasien. Sangat penting untuk memberikan kepercayaan kepada pasien, jangan sampai edukasi yang kita berikan justru membuat pasien takut dan ragu.

Terdapat panduan dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang etika aktivitas media sosial dokter yang dapat kita ikuti, diantaranya menyadari sisi positif dan negatif media sosial; Mengedepankan integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan, dan etika profesi; Sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku; Memberantas hoax/informasi keliru terkait kesehatan/kedokteran; Menjaga diri dari promosi berlebihan; Memastikan keamanan baik ketika pasien berkonsultasi; Penggunaan gambar sesuai etika dan peraturan yang berlaku; Pembuatan akun terpisah untuk edukasi; Dokter selektif memasukkan pasien ke daftar pertemanan pribadi; Membalas pujian dengan baik dan wajar; dan pada kondisi dimana dokter memandang aktivitas media sosial  sejawatnya terdapat kekeliruan, maka dokter harus mengingatkannya melalui jalur pribadi.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengingatkan bahwa manusia ada lah makhluk yang dapat beradaptasi paling baik. Walaupun teknologi dapat berevolusi, manusia dapat beradaptasi. Jangan pernah takut dengan perkembangan dan perubahan. Biarlah hal itu yang membuat kita terus haus akan ilmu dan terus berkembang.

[Opini ini dimuat di Dentamedia Nomor 4 Volume 27 Oktober-Desember 2023; Foto : Demand Hub; Editor : Messya Rachmani]

Posting Komentar untuk "Mampukah Dokter Gigi Bertahan di Era Media Sosial"