Pernyataan Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, yang menyinggung
tentang peningkatan kompetensi tukang gigi sebagai solusi atas kekurangan
dokter gigi di Indonesia, memunculkan reaksi keras dari berbagai kalangan,
khususnya komunitas dokter gigi. Hal ini dinyatakan saat bertandang ke rumah
Jokowi di Solo Jumat 11 April 2025, Menkes Budi mengaku malu karena
kasus penyakit gigi merupakan kasus terbanyak yang ditemukan dalam pemeriksaan
Kesehatan gratis di dua juta puskesmas. Menkes pun terkejut kala mengetahui
bahwa hampir 50% Puskesmas tidak memiliki layanan dokter gigi. Beliau menyadari
bahwa minimnya dokter gigi disebabkan oleh sekolahnya yang mahal dan lama,
untuk itu ia menyatakan akan mendidik tukang gigi untuk meningkatkan
kemampuannya guna mengatasi kekurangan dokter gigi.
Dalam Jumpa Pers yang diselenggarakan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Selasa 15 April 2025, terlepas apakah pernyataan diatas betul-betul disadari atau hanya slip tongue, Pengurus Besar PDGI melihat hal ini bukan sebagai perdebatan soal profesi saja, melainkan sebagai momentum strategis untuk mendorong transformasi layanan kesehatan gigi yang lebih terintegrasi, aman, profesional, dan sesuai regulasi yang berdampak pada kesehatan sistemik masyarakat Indonesia.
Tukang gigi merupakan realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2014, mereka hanya diperbolehkan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sederhana, tanpa tindakan medis, dan dengan izin praktik tertentu. Mereka bukan bagian dari tenaga kesehatan, tidak menempuh pendidikan kedokteran gigi, dan tidak dibekali pemahaman tentang anatomi, patologi, serta pengendalian infeksi. PB PDGI menilai bahwa memperluas kewenangan tukang gigi hingga menyentuh ranah tindakan medis bukan solusi tepat, melainkan langkah mundur dalam sistem pelayanan kesehatan.
PDGI menegaskan bahwa seorang dokter gigi menempuh pendidikan yang panjang untuk lulus sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional. Kekurangan dokter gigi di daerah tertentu menjadi persoalan serius, namun PDGI menganggap solusi yang diambil jangan menimbulkan kekhawatiran dan turunnya standar keselamatan pasien serta kualitas pelayanan gigi dan mulut.
PDGI juga merekomendasikan solusi lain untuk mengatasi permasalahan ini, diantaranya peningkatan literasi kesehatan gigi dan mulut dengan pendekatan berbasis komunitas, penugasan strategis dokter gigi pasca-internship di daerah prioritas dengan insentif dan jaminan karier, pemanfaatan teledentistry dan teknologi digital untuk menjangkau masyarakat terpencil secara efisien, menambah kuota dan fasilitas pendidikan dokter gigi spesialis dan meningkatkan kapasitas pendidikan kedokteran gigi, pelatihan dasar promotif-preventif bagi kader dan tenaga pendukung, sertadengan pengawasan dokter gigi untuk memperluas jangkauan tanpa mengorbankan mutu, serta menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi dokter gigi yang sudah ada dengan kewenangan tambahan hanya pada daerah yang belum ada dokter gigi spesialis.
Dengan solusi yang berbasis regulasi,
bukannya kompromi terhadap mutu, PB PDGI yakin pelayanan kesehatan gigi yang
berkualitas dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, tanpa harus mengorbankan
keselamatan pasien. “Tukang gigi adalah bagian dari sejarah sosial kita, namun bukan jawaban
atas kebutuhan pelayanan kesehatan yang profesional. Jangan biarkan masyarakat
menerima layanan setengah matang hanya karena alasan pragmatisme,” demikian
pernyataan penutup pada Jumpa Pers PB PDGI.
[Berita : Messya Rachmani; Foto : Intan Akbar]
Posting Komentar untuk "PDGI : Dokter Gigi Tidak Bisa Digantikan Tukang Gigi"